Tangerang, Jurnalistik UMT - Kampus Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) kembali bergolak. Pada Jumat (27/12/2024), mahasiswa dari berbagai organisasi mahasiswa (ormawa) berkumpul dan menggelar audiensi dengan pihak rektorat terkait isu hak dosen dan tenaga kependidikan yang disebut-sebut belum dipenuhi. Presiden Mahasiswa dan Wakilnya, Ketua Koordinator Komisariat (Koorkom) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), BEM Universitas dan seluruh BEM tiap fakultas, serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) turut hadir, bersama jajaran pimpinan UMT seperti Rektor dan Wakilnya, ketua dan anggota Badan Pengurus Harian (BPH), serta perwakilan Majelis Dikti/Litbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Di tengah keresahan mahasiswa dan civitas akademika, Wakil Rektor I Auliya Khasanofa menyampaikan tanggapannya.
“Saya yakin yang hadir tadi sayang kepada UMT. Ini menjadi trigger yang bisa berkembang menjadi isu nasional,” ujarnya, menyiratkan bahwa perhatian masyarakat luas terhadap masalah ini mulai meningkat.
Namun, mahasiswa tampaknya tak hanya membutuhkan apresiasi. Isu utama yang mereka soroti adalah pemenuhan hak tenaga pendidik dan kependidikan yang diklaim sudah lama tertunda. Menjawab hal ini, Auliya menyebut bahwa dari hasil audiensi, semuanya akan diselesaikan paling lambat 10 Januari 2025.
“Ini bukan sekadar gaji, tapi bagian penting yang harus ditunaikan karena itu hak,” tegasnya.
Di sisi lain, hasil audit terhadap keuangan dan pengelolaan UMT juga menjadi perhatian. Menurut Auliya, audit dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa dan Pengawasan Keuangan (LPPK), dan hasilnya akan diteruskan ke PP Muhammadiyah. Namun, dirinya menegaskan bahwa hingga saat ini hasil audit masih bersifat sementara, yang artinya belum terselesaikan.
“Kalau memang nanti ada bukti yang menunjukkan pelanggaran, itu harus dipertanggungjawabkan. Jika ada yang melanggar hukum, harus dihukum untuk memberikan efek jera,” katanya.
Namun, pernyataan ini memunculkan tanda tanya, yakni mengapa hasil audit belum juga terselesaikan dan dipublikasikan? Pernyataan soal kemungkinan “efek jera” juga membuka ruang spekulasi bahwa ada dugaan pelanggaran serius di dalamnya.
Selain isu hak tenaga kerja, Auliya mengungkapkan rencana perbaikan tata kelola UMT di berbagai bidang, mulai dari akademik, keuangan, hingga sarana prasarana. Ia bahkan menyebut ini sebagai “titik balik” untuk kampus. Namun, mahasiswa tampaknya tidak mudah diyakinkan.
Di luar audiensi ini, suara-suara kritis mahasiswa masih terus menggema. Banyak yang mempertanyakan apakah janji-janji ini benar-benar akan terealisasi atau hanya sekadar upaya meredam protes. Salah satu mahasiswa yang hadir mengatakan, “Kami ingin bukti, bukan janji. Masalah ini sudah berlangsung lama, dan kami lelah hanya mendengar retorika.”
Auliya juga mengakui bahwa perhatian PP Muhammadiyah terhadap masalah ini pun cukup besar.
Pada akhirnya, audiensi ini seakan menjadi momentum kritis bagi seluruh civitas maupun mahasiswa UMT. Jika janji-janji perbaikan tak segera diwujudkan, besar kemungkinan tekanan dari mahasiswa dan publik terus meningkat. Semua pihak kini menanti, apakah UMT benar-benar mampu bangkit, atau malah terjebak dalam lingkaran setan yang tak kunjung usai?
Tim Liputan:
- Fadilla Dyah A.L
- Syahrial Hamzah
- Tiara Ayu Dijaya
Penulis: Tiara Ayu Dijaya
Komentar
Posting Komentar