Ketiadaan Mahkamah Mahasiswa UMT, Ketimpangan Trias Politika Organisasi Kemahasiswaan

Gambar dari https://sarjanahukumasli.blogspot.com/2018/06/kompetensi-absolut.html?m=1 


Tangerang, Jurnalistik UMT – Mahkamah Mahasiswa (MM), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga yudikatif dalam struktur organisasi kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), hingga kini belum terbentuk. Ketiadaan MM menjadi sorotan karena dinilai menciptakan ketimpangan dalam prinsip trias politika yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Keluarga Besar Organisasi Kemahasiswaan (UUD KABES OKMA) UMT.


Menurut Pasal 37 Ayat (1) UUD KABES OKMA, kekuasaan kehakiman bertujuan menegakkan hukum dan keadilan di lingkungan organisasi mahasiswa. Namun, hingga kini, peran tersebut belum dapat dijalankan. Akibatnya, sengketa antar lembaga kemahasiswaan, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), maupun Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), sering kali ditangani oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kewenangan sesuai konstitusi.


Pasal 38 Ayat (1) UUD KABES OKMA secara tegas memberikan wewenang kepada MM untuk menafsirkan undang-undang dasar, menyelesaikan sengketa antar lembaga, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, ketiadaan MM membuat fungsi ini dialihkan ke MPM, yang bertentangan dengan tugas pokok MPM sebagai lembaga legislatif.


Ketiadaan MM menyebabkan tumpang tindih kewenangan, terutama saat menghadapi sengketa politik kampus. Sumeni, Ketua Bawaslu UMT, menjelaskan bagaimana sengketa hasil Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA) di tingkat universitas sebelumnya ditangani oleh MPM.


“Mahkamah Mahasiswa itu sangat penting dan diperlukan di UMT. Dalam sengketa hasil Pemilihan Raya (PEMIRA) kemarin, tugas penyelesaian sengketa diambil alih oleh MPM karena ketiadaan MM. Ini jelas tumpang tindih dengan kewenangan MPM yang diatur dalam Pasal 12 UUD KABES OKMA,” ungkap Sumeni saat diwawancara secara daring pada Jumat (22/11/2024).


Sumeni juga menekankan urgensi pembentukan MM menjelang PEMIRA tingkat fakultas yang akan segera berlangsung. 


“Adanya MM sangat mendesak untuk menangani sengketa hasil PEMIRA fakultas, permasalahan antar lembaga, atau bahkan uji materi terkait peraturan organisasi mahasiswa di masa depan,” tambahnya.


Revina, Menteri Pemberdayaan Wanita BEM UMT pun turut mengkritisi kondisi ini. 


“Sebetulnya MM ini sempat akan diadakan, tapi entah apa yang menjadi hambatannya. Kalau melihat perannya, MM harus ada. Eksekutif itu tugasnya menjalankan undang-undang, sedangkan MM mengatur perubahan atau ketetapan undang-undang. Ketika ada polemik politik kampus, penyelesaiannya kerap dikembalikan ke pihak yang tidak seharusnya,” ungkapnya, saat diwawancara pada Jumat (22/11/2024).


Ketiadaan MM tidak hanya menciptakan ketimpangan kekuasaan, tetapi juga mengurangi kepercayaan mahasiswa terhadap sistem hukum kampus. Penyelesaian konflik yang tidak transparan cenderung menimbulkan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa.


Pandangan Ahli Hukum





Auliya Khasanofa, dosen Fakultas Hukum UMT, saat ditemui pada Jumat (22/11/2024) menuturkan bahwa pembentukan MM membutuhkan persiapan matang dan kajian yang mendalam. 


“Mahkamah Mahasiswa itu bagian dari trias politika yang diterapkan dalam miniatur negara di kampus. Namun, sebelum dibentuk, harus ada kajian mendalam dan legal standing yang jelas agar MM tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu,” jelasnya.


Auliya menambahkan, hakim di Mahkamah Mahasiswa harus memiliki latar belakang hukum agar mampu memahami dan menafsirkan peraturan dengan benar. 


“Kalau tidak, keputusan yang diambil bisa menimbulkan masalah baru. Selain itu, lembaga ini juga memerlukan dukungan sumber daya seperti kantor, personel, dan aturan main yang terstruktur,” katanya.


Ia juga mengingatkan pentingnya menentukan batasan kewenangan MM. “Mahkamah Mahasiswa harus jelas tugas dan fungsinya. Jangan sampai kewenangannya malah digunakan untuk kepentingan tertentu dan justru menimbulkan konflik baru,” tegasnya.


Solusi dan Rekomendasi


Dalam forum Musyawarah Mahasiswa (MUSMA) mendatang, MPM diharapkan mengambil langkah strategis untuk membentuk MM. Langkah yang disarankan meliputi:


1. Menyusun kriteria dan seleksi Hakim Konstitusi sesuai Pasal 40 UUD KABES OKMA.

2. Membuat hukum acara untuk memastikan proses peradilan berjalan transparan dan akuntabel.

3. Melakukan sosialisasi pentingnya Mahkamah Mahasiswa kepada seluruh mahasiswa UMT.


Auliya menekankan bahwa pembentukan MM harus disepakati oleh semua perwakilan fakultas agar memiliki legitimasi. 


“Kalau mau diadakan, itu harus disepakati bersama. Legal standing lembaga ini harus jelas, termasuk kewenangannya, agar tidak menimbulkan konflik baru,” katanya.


Dengan adanya Mahkamah Mahasiswa, diharap dapat merealisasi tata kelola organisasi kemahasiswaan yang adil, demokratis, dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman dan Pancasila, sebagaimana yang dianut oleh UUD KABES OKMA UMT.


Penulis: Tiara Ayu Dijaya

Komentar